Kedudukan Zakat Dalam Agama Islam

Rabu, 10 Oktober 2018



KITAB ZAKAT
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Zakat adalah salah satu rukun Islam dan salah satu kewajibanya. Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ, شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ, وَإِقَامِ الصَّلاَةِ, وَإيِْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ الْبَيْتِ, وَصِيَامِ رَمَضَانَ.
“Islam didirikan di atas lima dasar, yaitu bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah, dan puasa pada bulan Ramadhan.” [1]
Dan telah disebutkan secara bergandengan dengan shalat dalam delapan puluh dua ayat.
Anjuran Untuk Mengeluarkan Zakat
Allah Ta’ala berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari harta mereka dengan guna membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” [At-Taubah: 103]
Dan juga firman-Nya Ta’ala:
وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” [Ar-Ruum: 39]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلاَ يَقْبَلُ اللهُ إِلاَّ الطَّيِّبَ, فَإِنَّ اللهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يُرَبِّيْهَا لِصَاحِبِهَا كَمَا يُرَبِّى أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ.
“Barangsiapa yang bersedekah dengan seukuran biji kurma dari sumber yang halal dan Allah tidaklah menerima kecuali dari sumber yang baik, maka Allah menerima sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya, lalu Allah mengembangkannya bagi yang bersedekah sebagaimana salah seorang di antara ka-ian mengembangkan anak kudanya, hingga akhirnya (pahalanya) menjadi seperti gunung.”[2]
Ancaman Bagi Mereka Yang Tidak Mau Mengeluarkan Zakat
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari Kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Ali ‘Imran: 180]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ، مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, ثُمَّ يَأْخُذُ بِلَهْزَمَتَيْهِ -يَعْنِى شَدَقَيْهِ- ثُمَّ يَقُوْلُ: أَنَا كَنْزُكَ، أَنَا مَالُكَ, ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ اْلآيَةَ: وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
“Barangsiapa yang diberikan karunia harta oleh Allah dan ia tidak menunaikan zakat harta tersebut, maka pada hari Kiamat kelak hartanya tersebut akan diwujudkan dalam bentuk ular yang memiliki dua bisa kemudian dikalungkan di leher-nya, lalu ular itu menggigit dua tulang rahang bawahnya, sambil berkata, ‘Aku adalah harta simpananmu.’” Kemudian Rasulullah membaca ayat, “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka…’” [3]
Dan juga firman Allah:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ
“… Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, lalu tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka kabarkanlah kepada mereka adzab yang sangat pedih. Pada hari dipanaskan emas pe-rak itu di dalam Neraka Jahannam, lalu dibakarnya dahi mere-ka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada me-reka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan.’” [At-Taubah: 34-35]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhua, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّى مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا
كَانَ يَوْمُ القِيَامَةِ, صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِيْنُهُ وَظَهْرُهُ, كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيْدَتْ لَهُ , فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ, حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ, فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! فَاْلإِبِلُ؟ قَالَ: وَلاَ صَاحِبُ إِبِلٍ لاَيُؤَدِّى مِنْهَا حَقَّهَا, وَمِنْ حَقِّهَا حَلَبُهَا يَوْمَ وِرْدِهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ بُطِحَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ أَوْفَرَ مَاكَانَتْ لاَ يَفْقِدُ مِنْهَا فَصِيْلاً وَاحِدًا تَطَؤُهُ بِأَخْفَافِهَا وَتَعَضُّهُ بِأَفْوَاهِهَا, كُلَّمَا مَرَّعَلَيْهِ أُوْلاَهَا رُدَّ عَلَيْهِ أُخْرَاهَا فيِ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ, حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ.
“Tidaklah seorang yang memiliki harta simpanan dari emas maupun perak dan ia tidak menunaikan zakatnya, maka pada hari Kiamat nanti akan dibentangkan baginya lempengan-lempengan logam dari Neraka yang telah dipanaskan di Neraka Jahannam, kemudian lempengan tersebut disetrikakan di lambung, dahi dan punggungnya. Manakala telah dingin, lempengan itu dipanaskan kembali. Hal ini terjadi pada hari yang lamanya sama seperti lima puluh ribu tahun, sampai tiba hari penghisaban antara para hamba, setelah itu dia akan melihat jalannya, apakah ke Surga atau ke Neraka. Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan mereka yang memiliki unta?’ Beliau menjawab, ‘Begitu pula dengan mereka yang memiliki unta dan tidak menunaikan kewajibannya, dan termasuk dari kewajiban yang harus dikeluarkan adalah air susu yang diperah di saat masa pemerahan, maka di hari Kiamat kelak dibentangkan bagi mereka tanah lapang yang terkumpul padanya semua yang dia miliki dari hewan, sampai yang masih menyapih, lalu semua hewan itu menginjak dan menggigitnya, manakala yang pertama telah berlalu dilanjutkan kembali oleh yang berikutnya. Hal ini terjadi pada hari yang lamanya sama seperti lima puluh ribu tahun, sampai tiba saatnya hari penghisaban antara para hamba, setelah itu dia akan melihat jalannya, apakah ke Surga atau ke Neraka.’” [4]
Hukum Orang Yang Tidak Mengeluarkan Zakat
Zakat merupakan salah satu kewajiban yang telah disepakati oleh para ulama dan telah diketahui oleh semua umat, sehingga ia termasuk salah satu hal yang mendasar dalam agama, yang mana jika ada salah seorang dari kaum muslimin yang mengingkari kewajibannya, maka dia telah keluar dari Islam dan dibunuh dalam keadaan kafir, kecuali jika ia baru mengenal Islam, maka dia dimaaf-kan disebabkan karena kejahilannya akan hukum.
Adapun mereka yang tidak mau mengeluarkannya dengan tetap meyakini akan kewajibannya, maka dia berdosa karena sikapnya tersebut, tapi hal ini tidak mengeluarkannya dari Islam dan seorang hakim (penguasa) boleh mengambil zakat tersebut dengan paksa [5] beserta setengah hartanya sebagai hukuman atas perbuatannya. Hal ini berdasarkan hadits Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata, “Aku telah mendengar Ra-sulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فِي كُلِّ إِبِلٍ سَائِمَةٍ, فِي كُلِّ أَرْبَعِيْنَ اِبْنَةُ لَبُوْنٍ, لاَ يُفَرَّقُ إِبِلٌ عَنْ حِسَابِهَا, مَنْ أَعْطَاهَا مُؤْتَجِرًا فَلَهُ أَجْرُهَا, وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ عَزْمَةٌ مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى, وَلاَ يَحِلُّ ِلآلِ مَحَمَّدٍ مِنْهَا شَئٌ.
“Pada setiap 40 ekor unta yang dilepas mencari makan sendiri, zakatnya seekor bintu labun (anak unta betina yang umurnya memasuki tahun ketiga). Tidak boleh dipisahkan unta itu dari kumpulannya untuk mengurangi perhitungan zakat. Barangsiapa yang mengeluarkannya dengan mengharap pahala, maka dia akan mendapatkan pahalanya dan barangsiapa yang menolak untuk mengeluarkannya, maka kami akan mengambilnya beserta setengah hartanya karena ini merupakan salah satu kewajiban dari Allah. Dan zakat ini tidak halal untuk dimakan oleh keluarga Muhammad sedikit pun.” [6]
Jika suatu kaum menolak untuk mengeluarkannya padahal mereka tetap meyakini kewajibannya dan mereka memiliki kekuatan untuk melarang orang memungutnya dari mereka, maka mereka harus diperangi hingga mereka mengeluarkannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أُمِرْتُ أَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ, فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mau bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan itu, maka mereka telah melindungi darah dan hartanya dariku kecuali karena ada hak (hukum) Islam, sedang-kan hisab mereka kembali kepada Allah.” [7]
Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Manakala Rasulullah telah wafat, kemudian pada masa khilafah Abu Bakar, ada sebagian bangsa Arab telah kafir (saat itu Abu Bakar ingin memerangi mereka), maka ‘Umar berkata kepadanya, ‘Bagaimana engkau akan memerangi manusia? Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah. Dan barangsiapa yang mengucapkannya, maka ia telah melindungi harta dan jiwanya dariku kecuali karena hak Islam dan hisab mereka kembali kepada Allah.’ Lalu Abu Bakar berkata, ‘Demi Allah aku akan memerangi siapa saja yang membeda-bedakan antara shalat dan zakat, sesungguhnya zakat adalah hak yang diambil dari harta. Demi Allah kalau mereka mencegahku dari mengambil seekor anak kambing betina padahal mereka dahulu menyerahkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya aku akan memerangi mereka karena sikap mereka tersebut.’ Setelah itu ‘Umar berkata, ‘Demi Allah, setelah Allah melapangkan hati Abu Bakar untuk memerangi mereka, barulah aku meyakini akan kebenaran hal ini.’”[8]
Siapakah yang Wajib Mengeluarkan Zakat ?
Zakat diwajibkan atas setiap muslim yang merdeka, yang memiliki harta yang telah sampai nisabnya dan telah melewati satu tahun (haul), kecuali zakat tanaman, maka ia dikeluarkan pada saat panen jika telah sampai nishabnya, sebagaimana firman Allah:
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِّن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tu-naikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluar-kan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguh-nya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” [Al-An’aam: 141]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Telah berlalu takhrijnya pada Kitab Thaharah.
[2]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/278, no. 1410) dan ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (II/702, no. 1014), Sunan at-Tirmidzi (II/85, no. 656), Sunan an-Nasa-i (V/57).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 2327)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/268, no. 1403).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5729)], Shahih Muslim (II/680, no. 987), Sunan Abi Dawud (V/75, no. 1642).
[5]. Fiqhus Sunnah (I/281).
[6]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4265)], Sunan Abi Dawud (IV/452, no. 1560), Sunan an-Nasa-i (V/25), Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani (VIII/217, no. 28)).
[7]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (I/75, no. 25)) ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (I/53, no. 22).
[8]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (III/626, no. 1399-1400)), Shahiih Muslim (I/51, no. 20), Sunan Abi Dawud (IV/414, no. 1541), Sunan an-Nasa-i (V/14), Sunan at-Tirmidzi (IV/117, no. 2734).
Read more https://almanhaj.or.id/1319-kedudukan-zakat-dalam-agama-islam.html

Harta Yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya



HARTA YANG WAJIB DIKELUARKAN ZAKATNYA
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah emas dan perak, tanaman, buah-buahan, binatang ternak, dan harta karun.
Pertama : Zakat Emas dan Perak
Nishab Dan Ukuran Yang Wajib Dikeluarkan
Nisab emas sebanyak 20 dinar, sedangkan perak 200 dirham, zakat keduanya sebanyak seperempatpuluh, sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيْهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَئٌ -يَعْنَى فِي الذَّهَبِ- حَتَّى يَكُوْنَ لَكَ عِشْرُوْنَ دِيْنَارًا, فَإِذَا كَانَتْ لَكَ عِشْرُوْنَ دِيْنَارٍ وَحَالَ
عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيْهَا نِصْفُ دِيْنَارٍ.
“Apabila engkau memiliki 200 dirham dan telah lewat satu tahun, maka zakatnya sebanyak 5 dirham. Tidak wajib atasmu zakat (emas) kecuali engkau memiliki 20 dinar, jika engkau memiliki 20 dinar dan telah lewat satu tahun, maka zakatnya setengah dinar.” [1]
Kedua :Zakat Perhiasan
Zakat perhiasan wajib hukumnya, berdasarkan keumuman ayat dan hadits yang menunjukkan kewajiban zakat, dan tidak ada dalil bagi mereka yang mengecualikannya dari keumuman ayat dan hadits-hadits tersebut. Di samping itu juga ada beberapa dalil-dalil khusus yang menunjukkan akan kewajiban zakat perhiasan, di antaranya:
Diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku mengenakan perhiasan dari perak, lalu aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, apakah ini termasuk harta simpanan?” Beliau menjawab:
مَا بَلَغَ أَنْ تُؤَدِّيَ زَكَاتَهُ فَزُكِّيَ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ.
“Harta yang sudah sampai batas untuk dikeluarkan zakatnya, lalu dikeluarkan zakatnya, maka bukan lagi termasuk harta simpanan.” [2]
Juga dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku dan beliau melihat di tanganku ada cincin tak bermata yang terbuat dari perak, kemudian beliau berkata, ‘Apa ini, wahai ‘Aisyah ?’ Aku menjawab, ‘Aku sengaja membuatnya agar aku bisa berhias untukmu wahai Rasulullah.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah engkau tunaikan zakatnya?’ Aku menjawab, ‘Tidak atau maasya Allah.’ Lalu beliau berkata, ‘Hal ini cukup untuk memasukkanmu ke dalam Neraka.’” [3]
Ketiga : Zakat Tanaman dan Buah-Buahan
Allah Ta’ala berfirman:
وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya) dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” [Al-An’aam: 141]
Jenis-Jenis Tanaman Dan Buah-Buahan Yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya:
Tidak wajib mengeluarkan zakat kecuali dari empat jenis tanaman yang disebutkan dalam hadits berikut ini. Dari Abi Burdah, dari Abu Musa dan Mu’adz Radhiyallahu anhuma, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus mereka berdua ke Yaman untuk mengajarkan penduduk Yaman ilmu agama, dan beliau memerintahkan mereka berdua agar jangan mengambil zakat kecuali dari empat jenis tanaman, yaitu hinthah (gandum), sya’ir (gandum), kurma dan anggur kering.” [4]
Nishabnya:
Syarat wajibnya zakat tanaman dan buah-buahan adalah jika telah sampai nishabnya, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits berikut.
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ فيِمَا دُونَ خَمْسِِ ذَوْدٍ مِنَ اْلإِبِلِ صَدَقَةٌ, وَلَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ, وَلَيْسَ فِيْمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ.
“Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari 5 ekor, juga pada perak yang kurang dari 5 awaq [5] , dan tidak pula pada kurma yang kurang dari 5 ausuq .” [6][7]
Ukuran Yang Wajib Dikeluarkan:
Diriwayatkan dari Jabir, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
فِيْمَا سَقَتِ اْلأَنْهَارُ وَالْغَيْمُ الْعُشُوْرُ, وَفِيْمَا سُقِيَ بِالسَّانِيَّةِ نِصْفُ الْعُشُورِ.
“Pada (perkebunan) yang disirami dari sungai dan hujan ada kewajiban zakat sepersepuluh, dan yang disirami dengan alat seperduapuluh.”[8]
Juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
فيِمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًا الْعُشْرُ, وَفِيْمَا سُقِيَ بِالنُضْحِ نِصْفُ الْعُشُرِ.
“Tanaman yang disiram dengan air hujan atau dengan sumber air atau dengan pengisapan air dari tanah, zakatnya sepersepuluh, dan tanaman yang disiram dengan tenaga manusia, zakatnya seperduapuluh.” [9]
Menaksir (Khirshu an-Nakhiil)* Kurma dan Anggur
Diriwayatkan dari Abu Humaid as-Sa’di, dia bercerita, “Kami pergi berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada perang Tabuk, ketika kami tiba di lembah Qura, ada seorang wanita yang sedang di kebunnya, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Sahabat-Sahabatnya, ‘Taksirlah jumlah buah tanamannya.’ Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaksirkannya sebanyak sepuluh ausaq, kemudian beliau berkata kepada wanita tersebut, ‘Hitunglah berapa jumlah hasil panen yang engkau dapat.’ Ketika kami kembali ke lembah Qura (dari Tabuk), beliau bertanya kepada wanita pemilik kebun tersebut, ‘Berapa hasil panen yang engkau dapat dari kebunmu?’ Wanita itu menjawab, ‘Sepuluh ausuq, sebagaimana yang ditaksir oleh Rasulullah.’”[10]
Dan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus ‘Abdullah bin Rawahah untuk menaksir buah kurma ketika sudah mulai matang sebelum dikonsumsi, kemudian beliau memberikan pilihan kepada orang-orang Yahudi apakah jumlah taksiran tersebut akan diambil oleh amil zakat atau mereka yang nantinya menyerahkannya langsung kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar zakatnya dihitung sebelum kurma tersebut dikonsumsi dan dipilah-pilah.” [11]
Keempat : Zakat Hewan Ternak
Hewan ternak yang wajib dizakati ada tiga jenis, yaitu unta, sapi, dan kambing.
1. Zakat Unta
Nishabnya:
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ فيِمَا دُوْنَ خَمْسِ ذَوْدٍ مِنَ اْلإِبِلِ صَدَقَةٌ.
“Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari 5 ekor.” [12]
Jumlah Zakat Yang Wajib Dikeluarkan:
Dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu menulis surat untuknya yaitu ketika dia diutus ke al-Bahrain, di antara isinya: “Bismillaahir Rahmaanir Rahiim (dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang). Ini adalah kewajiban zakat yang diwajibkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin dan ini pula yang diperintahkan Allah atas Rasul-Nya, maka barangsiapa dari kaum muslimin yang diminta untuk mengeluarkannya dengan cara yang benar, maka hendaklah mereka mengeluarkannya. Dan barangsiapa yang diminta lebih dari apa yang telah diwajibkan, maka janganlah dia menyerahkannya, yaitu setiap 24 ekor unta ke bawah wajib mengeluarkan kambing, yaitu setiap kelipatan lima ekor unta zakatnya seekor kambing. Jika mencapai 25 hingga 35 ekor unta, zakatnya berupa bintu makhad (seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun kedua). Jika mencapai 36 hingga 45 ekor unta, zakatnya berupa bintu labun (seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun ketiga). Jika mencapai 46 hingga 60 ekor unta, zakatnya berupa hiqqah tharuqatul jamal (seekor anak unta betina yang umurnya telah masuk tahun keempat dan bisa dikawini unta jantan). Jika mencapai 61 hingga 75 ekor unta, zakatnya berupa jaza’ah (seekor unta betina yang umurnya telah masuk tahun kelima). Jika mencapai 76 hingga 90 ekor unta, maka zakatnya dua ekor bintu labun. Jika mencapai 91 hingga 120 ekor unta, zakatnya dua ekor hiqqah tharuqatul jamal. Jika telah melebihi 120 ekor unta, maka setiap 40 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga. Dan setiap 50 ekor, zakatnya seekor unta betina yang umurnya masuk tahun keempat. Dan bagi mereka yang tidak memiliki unta kecuali empat ekor, maka tidak wajib atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menghendakinya, jika telah mencapai 5 ekor unta, maka wajib mengeluarkan zakat berupa seekor kambing.” [13]
BarangsiapaYyang Wajib Mengeluarkan Zakat Berupa Hewan Dengan Umur Tertentu Tetapi Dia Tidak Memilikinya
Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, di antara isi surat tersebut, “Barangsiapa yang jumlah untanya telah wajib mengeluarkan seekor unta betina yang umurnya telah memasuki tahun kelima (jaza’ah), padahal dia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya memasuki tahun keempat (hiqqah), maka ia boleh mengeluarkannya ditambah dua ekor kambing jika memungkinkan atau 20 dirham. Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun kelima, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing. Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga (bintu labun), maka ia boleh mengeluarkannya ditambah dua ekor kambing atau 20 dirham. Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing. Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun kedua (bintu makhad), maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing.” [14]
2. Zakat Sapi
Nishab Dan Ukuran (Jumlah) Yang Wajib Dikeluarkan
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ke Yaman dan beliau memerintahkanku agar mengambil zakat dari setiap 40 ekor sapi, seekor sapi betina berumur dua tahun lebih (musinnah), dan dari setiap 30 ekor sapi, seekor anak sapi berumur setahun lebih (tabi’) yang jantan atau yang betina.” [15]
3. Zakat Kambing
Nishab Dan Jumlah Yang Wajib Dikeluarkan
Dari Anas bahwasanya Abu Bakar telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, di antara isinya, “Zakat kambing yang dilepas mencari makan sendiri, jika telah mencapai jumlah 40 hingga 120 ekor, zakatnya seekor kambing. Jika lebih dari 120 hingga 200 ekor, zakatnya dua ekor kambing. Jika lebih dari 200 hingga 300 ekor, zakatnya tiga ekor kambing. Jika lebih dari 300 ekor kambing, maka setiap 100 ekor zakatnya satu ekor kambing. Apabila jumlah kambing yang dilepas mencari makan sendiri tersebut kurang dari 40 ekor, maka tidak wajib atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menginginkan hal tersebut.”[16]
Syarat-Syarat Wajibnya Zakat Hewan Ternak
1. Telah sampai nishabnya. Dan hal ini telah diterangkan secara jelas dalam hadits-hadits yang telah berlalu.
2. Telah berlalu haul (satu tahun), berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ زَكَاةَ فِي مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ.
“Tidak wajib zakat pada harta yang belum sampai haulnya (satu tahun).” [17]
3. Hendaklah hewan ternak tersebut selama setahun lebih sering digembalakan dengan cara mencari rumput sendiri, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Zakat kambing yang dilepas mencari makan sendiri, jika telah mencapai jumlah 40 hingga 120 ekor, zakatnya seekor kambing…” [18]
Dan juga sabdanya:
فِي كُلِّ إِبِلٍ سَائِمَةٍ فِي كُلِّ أَرْبَعِيْنَ ابْنَةُ لَبُوْنٍ.
“Pada setiap 40 ekor unta yang dilepas mencari makan sendiri, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya memasuki tahun ketiga.” [19]
Jenis Harta Yang Tidak Boleh Diambil Sebagai Zakat
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman beliau bersabda:
وَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ.
“Dan janganlah engkau mengambil harta-harta mereka yang mulia (sebagai zakat)…” [20]
Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, yang berbunyi, “Tidak boleh dikeluarkan untuk zakat hewan, hewan yang tua dan yang cacat, dan tidak bo-leh dikeluarkan yang jantan kecuali jika pemiliknya menghendaki.” [21]
Hukum Harta Yang Terkumpul Padanya Dua Hak
Jika tercampur harta dua orang atau lebih dari orang-orang yang wajib zakat dan tidak bisa dibedakan antara harta salah seorang di antara mereka dengan yang lainnya, maka mereka berdua mengeluarkan satu zakat saja jika telah wajib atas mereka berdua mengeluarkan zakat.
Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, yang di antaranya berbunyi, “Tidak boleh dikumpulkan antara hewan-hewan ternak yang terpisah dan tidak boleh dipisahkan antara hewan-hewan ternak yang terkumpul karena takut mengeluarkan zakat. Hewan ternak kumpulan dari dua orang, pada waktu zakat harus kembali dibagi rata antar keduanya.” [22]
Kelima : Zakat Harta Karun (Rikaz)
Ar-Rikaz adalah harta yang terpendam sejak zaman Jahiliyyah yang kemudian dikeluarkan tanpa membutuhkan biaya dan tenaga yang banyak.
Diwajibkan untuk segera mengeluarkan zakatnya tanpa ada syarat harus sampai nishab dan haul. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَ فِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ.
“Zakat rikaz adalah seperlima.” [23]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1391)], Sunan Abi Dawud (IV/447, no. 1558).
[2]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir, (no. 5582)], [Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 559)], Sunan Abi Dawud (IV/426, no. 1549), Ad-Daraquthni (II/105).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1384)], Sunan Abi Dawud (IV/427, no. 1550), ad-Daraquthni (II/105).
[4]. Shahih: [ Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah 879], Mustadrak al-Hakim (I/401), al-Baihaqi (IV/125).
[5]. Awaaq: bentuk jamak dari auqiyah, Ibnu Hajar berkata, “Telah disepakati bahwa ukuran auqiyah dalam hadits ini sama dengan 40 dirham yang ter-buat dari perak murni.”
[6]. Ausuq: bentuk jamak dari wasaq -dengan huruf wawu difat-hahkan atau boleh juga dikasrahkan- yaitu 60 sha’, lihat Fat-hul Baari (III/364), cet. Daar ar-Rayyan.
[7]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/310, no. 1447) ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (II/673, no. 979), Sunan at-Tirmidzi (II/69, no. 622), Sunan an-Nasa-i (V/17), Sunan Ibni Majah (I/571, no. 1793).
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4271)], Shahiih Muslim (II/675, no. 981) ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (IV/486, no. 1582), Sunan an-Nasa-i (V/42).
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 427)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/347, no. 1483) dan ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (IV/485, no. 1581), Sunan at-Tirmidzi (II/76, no. 635), Sunan an-Nasa-i (V/41), Sunan Ibni Majah (I/581, no. 1817).
* Khirsh an-Nakhiil: Memperkirakan berapa jumlah buah kurma kering yang akan diperoleh dari buah kurma basah yang terdapat di sebuah pohon. At-Tirmidzi menceritakan dari sebagian ahli ilmu bahwa yang dimaksud di sini adalah jika terdapat buah kurma basah (ruthab) dan anggur yang wajib untuk dikeluarkan zakatnya, maka pemerintah setempat mengutus sese-orang yang ahli untuk menaksirkan berapa jumlah zakat yang harus dike-luarkan, kemudian dia memperhatikan pohon tersebut lalu berkata: Dari pohon ini akan menghasilkan sejumlah sekian dari kurma kering (tamr), lalu dia menghitungnya dan menghitung zakatnya sebanyak sepersepuluh dari jumlah yang diperkirakan, kemudian meninggalkannya bersama pemiliknya, manakala datang waktu panen diambil darinya zakat sebanyak sepersepuluh. (Fat-hul Baari III/403, cet. Dar ar-Rayyan)
[10]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2643)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (III/343, no. 1481, 3079).
[11]. Hasan lighairihi (hadits yang dha’if tetapi karena banyak jalur sanadnya, maka ia naik menjadi hasan): [Irwaa-ul Ghaliil (no. 805)], Sunan Abi Dawud (IX/276, no. 3396).
[12]. Telah berlalu takhrijnya
[13]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1375)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/317, no. 1454), (III/316, no. 1453), Sunan Abi Dawud (IV/431, no. 1552), Sunan an-Nasa-i (V/18), Sunan Ibni Majah (I/575/1800) hadits yang kedua saja.
[14]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1375)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (III/317, no. 1454, III/316, no. 1453)), Sunan Abi Dawud (IV/431, no. 1552), Sunan an-Nasa-i (V/18), Sunan Ibni Majah (I/575, no. 1800) pada hadits yang kedua saja.
[15]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1394)], Sunan at-Tirmidzi (II/68, no. 619), Sunan Abi Dawud (IV/457, no. 1561), Sunan an-Nasa-i (V/26), Sunan Ibni Majah (I/576, no. 1803) dan lafazh ini adalah miliknya, sedangkan da-lam riwayat yang lainnya ada tambahan pada akhir hadits ini.
[16]. Telah berlalu takhrijnya.
[17]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7497)], Sunan Ibni Majah (I/571, no. 1792), ad-Daraquthni (II/90, no. 3), al-Baihaqi (IV/103).
[18]. Penggalan hadits Abu Bakar yang telah berlalu takhrijnya.
[19]. Telah berlalu takhrijnya.
[20]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/357, no. 1496), Sha-hiih Muslim (I/50, no. 19), Sunan at-Tirmidzi (II/69, no. 621), Sunan Abi Dawud (IV/467, no. 1569), Sunan an-Nasa-i (V/55).
[21]. Telah berlalu takhrijnya
[22]. Telah berlalu takhrijnya.
[23]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (III/364, no. 1499)), Sha-hiih Muslim (III/1334, no. 1710), Sunan at-Tirmidzi (II/77, no. 637), Sunan an-Nasa-i (V/45), Sunan Ibni Majah (II/839, no. 2509), Sunan Abi Dawud (VIII/341, no. 3069), hadits ini dalam riwayat dua kitab, yang pertama diriwayatkan secara panjang, adapun dalam kitab yang lainnya tidaklah disebutkan kecuali seperti lafazh di atas.
Read more https://almanhaj.or.id/953-harta-yang-wajib-dikeluarkan-zakatnya.html

Golongan Yang Berhak Menerima Zakat



GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Allah berfirman:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” [At-Taubah: 60]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini (II/364), “Manakala Allah menyebutkan penolakan orang-orang munafik dan pencelaannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah pembagian sedekah. Dia melanjutkannya dengan menjelaskan bahwa yang menetapkan pembagian tersebut, menerangkan hukumnya serta yang menangani masalah ini adalah Allah sendiri. Dia tidak mewakilkan pembagiannya kepada seorang pun, kemudian Dia-lah yang membagi shadaqah tersebut kepada golongan-golongan yang tersebut di dalam ayat di atas.”
Apakah Wajib Membagi Rata Harta Zakat Kepada Semua GolonganTersebut?
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, “Para ulama berselisih pendapat berkenaan dengan delapan golongan yang berhak menerima zakat, apakah wajib menyerahkan harta zakat kepada setiap golongan atau boleh diserahkan kepada sebagian golongan saja yang memungkinkan untuk diberikan kepadannya? Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Pertama: Wajib menyerahkannya kepada semua golongan dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan jama’ah para ulama.
Kedua: Tidak wajib menyerahkannya kepada semua golongan, bahkan boleh membagikannya kepada satu golongan saja dan menyerahkan semua harta zakat kepada mereka walaupun ada golongan yang lain. Dan ini adalah pendapat Imam Malik dan beberapa orang dari kaum Salaf dan khalaf, di antara mereka ‘Umar, Hudzaifah, Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah, Sa’id bin Zubair dan Maimun bin Mihran. Berkata Ibnu Jarir, ‘Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu.’ Berdasarkan pendapat ini, maka tujuan penyebutan golongan-golongan tersebut dalam ayat ini adalah untuk menerangkan tentang golongan yang berhak menerima zakat bukan untuk menjelaskan kewajiban membagikannya kepada semua golongan tersebut.”
Ibnu Katsir rahimahullah kembali berkata, “Kami akan menyebutkan beberapa hadits yang berkaitan dengan delapan golongan tersebut:
1. Pertama : Orang-Orang Fakir
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقََةُ لِغَنِيٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِيٍّ.
“Zakat tidak halal diberikan kepada orang kaya dan mereka yang memiliki kekuatan untuk bekerja.” [1]
Dari ‘Ubaidillah bin ‘Adi bin al-Khiyar bahwa ada dua orang yang telah bercerita kepadanya bahwa mereka telah menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta zakat kepada beliau. Kemudian beliau memperhatikan mereka dan beliau melihat mereka masih kuat, lalu beliau bersabda:
إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا وَلاَ حَظَّ فِيْهَا لِغَنِيٍّ وَ لاَ لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ.
“Jika kalian mau aku akan berikan kalian zakat, namun tidak ada zakat bagi orang kaya dan mereka yang masih kuat untuk bekerja.” [2]
2. Kedua : Orang-Orang Miskin
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ بِهَذَا الطَّوَافِ الَّذِي يَطُوْفُ عَلَى النَّاسِ, فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ, وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ, قَالُوْا فَمَا الْمِسْكِيْنُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَلَّذِي لاَيَجِدُ غِنًى يُغْنِيْهِ, وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ, وَلاَ يَسْأَلُ النَّاسَ.
“Bukanlah termasuk orang miskin mereka yang keliling meminta-minta kepada manusia, kemudian hanya dengan sesuap atau dua suap makanan dan satu atau dua buah kurma ia kembali pulang.” Para Sahabat bertanya, “Kalau begitu siapakah yang dikatakan sebagai orang miskin, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhannya. Namun tidak ada yang mengetahui keadaannya sehingga ada yang mau memberinya sedekah dan ia juga tidak meminta-minta kepada manusia.” [3]
3. Ketiga : Amil Zakat
Mereka adalah petugas yang mengumpulkan dan menarik zakat, mereka berhak menerima sejumlah harta zakat sebagai ganjaran atas kerja mereka dan tidak boleh mereka termasuk dari keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diharamkan atas mereka memakan sedekah, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahiih Muslim dari ‘Abdul Muththalib bin Rabi’ah bin al-Harits, bahwasanya ia dan al-Fadhl bin al-‘Abbas pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta agar mereka berdua dijadikan sebagai amil zakat, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الصَّدَقَةَ لاَتَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ ِلآلِ مُحَمَّدٍ, إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ.
“Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad, karena ia sebenarnya adalah kotoran manusia.” [4]
4. Keempat : Muallaf (Orang-Orang Yang Dilunakkan Hatinya)
Mereka ada beberapa macam. Ada yang diberikan harta zakat agar mereka masuk Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan Shafwan bin Umayyah harta dari hasil rampasan perang Hunain, dan dia ikut berperang dalam keadaan masih musyrik, ia bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak henti-hentinya memberiku harta rampasan hingga akhirnya beliau menjadi manusia yang paling aku cintai, padahal sebelum itu beliau adalah manusia yang paling aku benci.” [5]
Dan di antara mereka ada yang sengaja diberikan harta zakat agar mereka semakin bagus keislamannya dan semakin kuat hatinya dalam Islam, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salla ketika perang Hunain, beliau memberikan seratus ekor unta kepada sekelompok pemuka kaum ath-Thulaqa’ (orang-orang kafir Quraisy yang tidak diperangi di saat penaklukan Makkah), kemu-dian beliau bersabda:
إِنِّي َلأُعْطِيَ الرَّجُلَ، وَغَيْرَهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ, خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ.
“Sesungguhnya aku memberi (harta) pada seseorang, padahal yang lainnya lebih aku cintai daripadanya, hanya saja aku takut Allah akan memasukkannya ke dalam Neraka.” [6]
Dalam ash-Shahiihain diriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwasanya ‘Ali menyerahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam emas mentah batangan dari Yaman, kemudian beliau membagikannya kepada empat orang, al-Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Badar, ‘Alqamah bin ‘Ulatsah dan Zaid al-Khair, lalu beliau bersabda, “Aku ingin melunakkan hati mereka.” [7]
Di antara mereka ada yang diberikan zakat dengan maksud agar orang-orang yang seperti mereka ikut masuk Islam. Juga ada yang diberikan harta zakat supaya nantinya bisa mengumpulkan harta zakat dari orang-orang yang setelahnya atau untuk mencegah bahaya dari beberapa negeri terhadap kaum muslimin.
Allaahu a’lam.
Apakah harta zakat masih diberikan kepada orang-orang yang dilunakkan hatinya setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal ?
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat:
Diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Amir, Sya’bi dan sejumlah ulama lainnya, bahwasanya mereka tidak diberikan harta zakat setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, karena Islam dan kaum muslimin telah jaya dan mereka telah menguasai beberapa negara, serta telah ditundukkan bagi mereka banyak kaum.
Dan pendapat yang lain mengatakan bahwasanya mereka tetap berhak menerima zakat, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memberikan mereka zakat setelah penaklukan Makkah dan Hawazin. Dan perkara ini terkadang dibutuhkan sehingga harta zakat diberikan kepada mereka.”
5. Kelima : Budak
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i, az-Zuhri dan Ibnu Zaid mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan budak adalah al-Mukatab (budak yang telah mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk membayar sejumlah uang sebagai tebusan atas dirinya). Hal ini juga diriwayatkan dari Abu Musa al-‘Asyari. Dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i juga al-Laitsi. Berkata Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan, “Tidak mengapa harta zakat tersebut dijadikan sebagai tebusan untuk memerdekakan budak.” Dan ini adalah madzhab Ahmad, Malik dan Ishaq. Maksudnya bahwa memberikan zakat kepada budak sifatnya lebih umum dari sekedar memerdekakan al-Mukatab atau membeli budak, kemudian memerdekakannya. Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan tentang pahala orang-orang yang memerdekakan budak. Dan sesungguhnya Allah akan membebaskan dari api Neraka anggota badan orang yang memerdekakan budak sebagai ganjaran dari anggota badan budak yang ia merdekakan, hingga kemaluan dengan kemaluan [8]. Hal ini semua karena balasan dari suatu amalan se-suai dengan jenis amalan tersebut:
وَمَا تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ.
“Dan tidaklah kalian diberi ganjaran kecuali sesuai dengan amalan yang kalian kerjakan.”
6. Keenam : Orang Yang Berhutang
Mereka ada beberapa jenis, ada yang menanggung hutang orang lain dan manakala telah sampai waktu pembayaran ia menggunakan hartanya untuk melunasinya sehingga hartanya habis, ada yang tidak bisa melunasi hutangnya, ada yang merugi karena kemaksiatan yang diperbuat kemudian dia bertaubat, mereka inilah yang berhak menerima zakat.
Dalil dalam masalah ini adalah hadits Qabishah bin Mukhariq al-Hilali, ia berkata, “Aku sedang menanggung hutang orang lain, kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta bantuan beliau, beliau berkata, “Tunggulah, jika ada zakat yang kami dapatkan kami akan menyerahkannya kepadamu.” Selanjutnya beliau bersabda:
يَا قَبِيْصَةُ , إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَتَحِلُّ إِلاَّ ِلأَحَدِ ثَلاَثَةٍ: رَجُلٌ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِِكَ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اِجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى يُصِيْبَ قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ, فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى يُصِيْبَ قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ, فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبيْصَةُ ! سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah satu dari tiga orang, yaitu orang yang menanggung hutang orang lain, maka ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia berhenti meminta-minta, orang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup atau beliau berkata, sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, dan orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sampai tiga orang dari kaumnya yang berpengetahuan (alim) berkata, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup.’ Ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup atau beliau berkata: Sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun selain tiga golongan tersebut, wahai Qabishah, maka haram hukumnya dan mereka yang memakannya adalah memakan makanan yang haram.’” [9]
7. Ketujuh : Orang Yang Berjuang Di Jalan Allah (Fii Sabilillaah)
Mereka adalah para pasukan perang yang tidak punya hak dari baitul mal. Adapun Imam Ahmad, al-Hasan dan Ishaq mengatakan bahwa orang yang berhaji termasuk dalam fii sabilillaah, ber-dasarkan sebuah hadits.
Saya (penulis) berkata, “Yang mereka maksud dengan hadits adalah hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menunaikan haji dan ada seorang isteri yang berkata kepada suaminya, ‘Sertakanlah aku berhaji bersama Rasulullah.’ Suami tersebut menjawab, ‘Aku tidak memiliki harta yang bisa kugunakan untuk membiayaimu pergi haji.’ Lalu isterinya berkata, ‘Hajikanlah aku dengan untamu itu.’ Dia berkata, ‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di jalan Allah.’ Kemudian lelaki tersebut datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku mengucapkan salam atasmu dan ia telah memintaku untuk menghajikannya bersamamu, ia berkata, ‘Hajikanlah aku bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Lalu aku menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak memiliki harta yang akan kugunakan untuk membia-yaimu pergi haji.’ Ia berkata lagi, ‘Kalau begitu hajikanlah aku dengan untamu itu.’ Aku berkata kepadanya, ‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di jalan Allah.’’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya jika engkau menghajikan ia dengan unta tersebut juga termasuk dalam fii sabilillaah.’” [10]
8. Kedelapan: Ibnus Sabil
Dia adalah musafir yang berada di suatu negeri dan tidak memiliki sesuatu apa pun yang bisa membantunya dalam perjalanan, maka ia diberikan dari harta zakat secukupnya yang bisa diguna-kan untuk pulang kampung, walaupun mungkin dia memiliki sedikit harta. Dan hukum ini berlaku bagi mereka yang melakukan perjalanan jauh dari negerinya dan tidak ada sesuatu apa pun bersamanya, maka ia diberikan sejumlah harta dari zakat yang bisa mencukupinya untuk bekal pulang pergi. Dan dalilnya adalah ayat tentang golongan yang berhak menerima zakat, juga apa yang diri-wayatkan oleh Imam Abu Dawud, Ibnu Majah dari hadits Ma’mar dari Yazid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yasar, dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ خَمْسَةٍ: اَلْعَامِلُ عَلَيْهَا أَوْ رَجُلٌ اِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ غَارِمٌ اَوْ غَازٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَوْ مِسْكِيْنٌ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ فَأَهْدَى مِنْهَا لِغَنِيٍّ.
“Zakat itu tidak halal diberikan kepada orang kaya kecuali lima macam, yaitu amil zakat atau orang yang membelinya dengan hartanya atau orang yang berhutang atau orang yang berperang di jalan Allah atau orang miskin yang menerima zakat, kemudian dia menghadiahkannya kepada orang kaya.”[11]
Selesai perkataan Ibnu Katsir.”-pent.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7251)], Sunan at-Tirmidzi (II/81, no. 647), Sunan Abi Dawud (V/42, no. 1617), dan diriwayatkan dari Abu Hurairah z: Sunan Ibni Majah (I/589, no. 1839), Sunan an-Nasa-i (V/99).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1438)], Sunan Abi Dawud (V/41, no. 1617), Sunan an-Nasa-i (V/99).
[3]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim II/719, no. 1039), dan ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari III/341, no. 1479), Sunan an-Nasa-i (V/75), Sunan Abi Dawud (V/39, no. 1615).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 1664)], Shahiih Muslim (II/752, no. 1072), Sunan Abi Dawud (VII/205, no. 2969), Sunan an-Nasa-i (V/105). Berkata an-Nawawi, “Yang dimaksud dengan ausaakhun naas, bahwasanya zakat tersebut sebagai pembersih dan pensuci bagi harta dan jiwa mereka, sebagaimana firman Allah, ‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.’ Maka, zakat tersebut ibarat alat pencuci kotoran.” (Shahiih Muslim Syarah an-Nawawi (VII/251), cet. Qurthubah).
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1588)], Shahiih Muslim (II/754, no. 1072 (168)), Sunan Abi Dawud (VIII/205-208, no. 2969), Sunan an-Nasa-i (V/ 105-106)
[6]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/79, no. 27), Shahiih Muslim (I/132, no. 150), Sunan Abi Dawud (XII/440, no. 4659), Sunan an-Nasa-i (VIII/103).
[7]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VIII/67, no. 4351), Sha-hiih Muslim (II/741, no. 1064), Sunan Abi Dawud (XIII/109, no. 4738).
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6051)]. Diriwayatkan oleh at-Tir-midzi dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ اللهُ مِنْهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّارِ حَتَّى يَعْتِقَ فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ.
“Barangsiapa yang memerdekakan seorang budak yang beriman niscaya Allah akan memerdekakan dengannya (anggota badan budak) setiap anggota badan orang yang memerdekakannya dari api Neraka sampai kemaluannya dengan kemaluannya.” (III/49, no. 1541).
[9]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 568)], Shahiih Muslim (II/722, no. 1044), Sunan Abi Dawud (V/49, no. 1624), Sunan an-Nasa-i (V/96). Dan termasuk dari zawil hija orang yang berakal dan pintar.
[10]. Hasan shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1753)], Sunan Abi Dawud (V/465, no. 19740), Mustadrak al-Hakim (I/183), al-Baihaqi (VI/164).
[11]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 725)], Sunan Abi Dawud (V/44, no. 1619), Sunan Ibni Majah (I/590, no. 1841).
Read more https://almanhaj.or.id/914-golongan-yang-berhak-menerima-zakat.html

Kitab Wasiat


KITAB WASIAT
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Kata wasiat diambil dari kata, “ وصيت الشيء أوصيه (aku menyampaikan sesuatu yang dipesankan kepadaku).” Maka, setelah orang yang berwasiat wafat, ia telah menyampaikan apa yang dulu akan disampaikan semasa hidupnya.
Adapun secara syara’ wasiat berarti penyerahan barang, hutang, atau kemanfaatan kepada orang lain agar diberikan kepada orang yang diwasiati setelah orang yang berwasiat meninggal.
Hukum Wasiat
Wasiat wajib bagi orang yang memiliki harta untuk diwasiatkan.
Allah berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Diwajibkan atasmu, apabila seorang di antara kamu mendapatkan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” [Al-Baqarah 180]
Dan dari ‘Abdillah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ.
“Seorang muslim tidak layak memiliki sesuatu yang harus ia wasiatkan, kemudian ia tidur dua malam, kecuali jika wasiat itu tertulis di sampingnya.” [1]
Ukuran Harta Wasiat Yang Disunnahkan
Dari Sa’d bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika di Makkah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menjenggukku sementara beliau enggan wafat di tanah yang beliau hijrah darinya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَرْحَمُ اللهُ ابْنَ عَفْرَاءَ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أُوْصِي بِمَالِي كُلِّهِ قَالَ: لاَ، قُلْتُ: فَالشَّطْرُ؟ قَالَ: لاَ، قُلْتُ: اَلثُّلُثُ، قَالَ: فَالثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ، وَإِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ، وَعَسَى اللهُ أَنْ يَرْفَعَكَ فَيَنْتَفِعَ بِكَ نَاسٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ يَوْمَئِذٍ إِلاَّ ابْنَةٌ.
‘Semoga Allah merahmati Ibnu ‘Afra (Sa’d).’ Aku katakan, ‘Wahai Rasulullah, aku berwasiat dengan semua hartaku ?’ Beliau bersabda, ‘Tidak boleh.’ Aku katakan, ‘Separuhnya?’ Beliau bersabda, ‘Tidak boleh.’ Aku katakan, ‘Sepertiganya?’ Beliau bersabda, ‘Ya, sepertiga, dan sepertiga itu banyak, sebab jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, mereka meminta-minta pada orang lain. (Selain itu, jika engkau hidup) walaupun engkau memberikan hartamu pada keluargamu, akan tetap dihitung sebagai sedekah, sampai makanan yang engkau suapkan pada mulut isterimu. Semoga Allah mengangkat derajatmu, memberikan manfaat kepada sebagian manusia, dan membahayakan sebagian yang lain.’ Pada saat itu Sa’d tidak mempunyai pewaris kecuali seorang anak perempuan.” [2]
Tidak Boleh Berwasiat Untuk Ahli Waris
Dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya pada tahun Haji Wada’:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ.
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang memiliki hak akan hartanya. Maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” [3]
Apa Yang Ditulis Di Awal Wasiat
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Para Sahabat menulis pada awal wasiatnya:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Berikut ini apa yang akan aku wasiatkan kepada Fulan bin Fulan:
“Hendaklah ia bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak di-ibadahi dengan benar selain Allah, yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Dan bahwasanya Kiamat pasti akan datang tanpa keraguan sedikit pun. Dan bahwasanya Allah akan membangkitkan setiap orang yang ada di kubur. Maka hendaknya ia mewasiatkan kepada keluarga yang ditinggalkannya supaya bertakwa kepada Allah, selalu memperbaiki diri, mentaati Allah dan Rasul-Nya jika ia benar-benar beriman. Juga mewasiatkan bagi mereka sebagaimana wasiat Nabi Ibrahim dan Ya’qub kepada anak-anak mereka, ‘Wahai anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan untuk kalian sebuah agama, maka janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan Islam.’” [4]
Kapan Wasiat Dipindahkan Haknya
Wasiat tidak boleh dipindahkan haknya kepada orang yang diwasiati kecuali setelah orang yang berwasiat meninggal dunia, dan telah dilunasi hutang-hutangnya. Apabila hutangnya melebihi harta peninggalan, maka orang yang diwasiati tidak mendapatkan apa-apa.
Dari ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pelunasan hutang sebelum pelaksanaan wasiat. Kalian juga membaca ayat:
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
‘(Pembagian warisan) setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah) hutangnya.’” [An-Nisaa’: 12] [5]
Peringatan:
Sehubungan dengan kenyataan bahwa pada umumnya masyarakat sekarang adalah berbuat bid’ah pada agamanya, terlebih lagi yang berkaitan dengan urusan jenazah, maka termasuk wajib bagi seorang muslim berwasiat agar jenazahnya diurus dan dimakamkan sesuai dengan Sunnah, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [At-Tahriim: 6]
Oleh karena itulah para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat dengannya. Riwayat yang menjelaskan hal ini sangat banyak, di antaranya:
Dari ‘Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash, bahwa ayahnya (yaitu Sa’d) berkata pada saat sakit menjelang ajalnya, “Galilah untukku sebuah lahat, dan pancangkanlah di atasnya sebuah bata (patok), sebagaimana yang di buat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [6]
Peringatan Kedua:
Apabila seseorang mempunyai cabang pewaris yang sudah meninggal ketika ia hidup, maka ia harus berwasiat untuk anak-anak pewaris ini sebanyak apa yang seharusnya menjadi hak mayit atau sesuatu dari hartanya dengan batasan sepertiga. Dan sepertiga adalah banyak. Apabila orang tersebut meninggal, dan tidak berwasiat untuk cucu-cucunya itu, maka mereka diberi bagian yang seharusnya diwasiatkan. Karena ini merupakan hutang atas orang itu, walaupun ia tidak menulisnya. Dan hendaknya sekarang ini pengadilan memberlakukan hal tersebut.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/355, no. 2738), Shahiih Muslim (III/1249, no. 1627), Sunan Abi Dawud (VIII/63, no. 2845), Sunan at-Tirmidzi (II/224, no. 981), Sunan Ibni Majah (II/901, no. 2699), Sunan an-Nasa-i (VI/238).
[2]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/363, no. 2742), dan ini lafazhnya, Shahiih Muslim (III/250, no. 1628), Sunan Abi Dawud (VIII/64, no. 2847), Sunan an-Nasa-i (VI/242).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah no. 2194], Sunan Ibni Majah (II/905, no. 2713), Sunan Abi Dawud (VIII/72, no. 2853), Sunan at-Tirmidzi (III/293, no. 2203).
[4]. Shahih: [Al-Irwaa’ (no. 1647)], ad-Daraquthni (IV/154, no. 16), al-Baihaqi (VI/287).
[5]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2195)], [al-Irwaa’ (no. 1667)], Sunan Ibni Majah (II/906, no. 2715), Sunan at-Tirmidzi (III/294, no. 2205).
[6]. Lihat Ahkaamul Janaa-iz, karya Syaikh al-Albani (hal. 8).
Read more https://almanhaj.or.id/973-kitab-wasiat.html

Kitab Warisan



KITAB WARISAN
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Definisi Warisan [1]
Al-farai-dh ( اَلْفَرَائِضُ ) adalah bentuk jamak dari faridhah ( فَرِيْضَةٌ ), sedangkan kata faridhah itu sendiri diambil dari kata al-fardhu اَلْفَرْضُ yang maknanya adalah at-taqdiir ( اَلتَّقْدِرُ ), yang berarti ketentuan.
Allah Ta’ala berfirman:
فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” [Al-Baqarah: 237]
Faradhtum yaitu qaddartum (yang telah kamu tentukan).
Adapun fardhu ( اَلْفَرْضُ ) dalam istilah syara’ adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris.
Ancaman Melanggar Hukum Waris
Adalah bangsa Arab di masa Jahiliyah sebelum datangnya Islam, mereka memberikan warisan kepada kaum laki-laki dan tidak memberikannya kepada kaum wanitanya, dan kepada orang-orang dewasa dan tidak memberikannya kepada anak-anak. Ketika Islam datang (maka) Allah memberikan kepada setiap pemilik hak akan haknya, dan Allah menamakan hak-hak ini sebagai washiyyatan minallaah [2]. (Dan) fariidhatan minallaah (ketetapan dari Allah)[3] kemudian Allah mengakhirinya dengan peringatan keras dan ancaman tegas bagi orang yang menyelisihi syari’at Allah dalam hal warisan.
Allah Ta’ala berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” [An-Nisaa: 13-14]
Yang Diwarisi Dari Harta Orang Yang Meninggal Dunia
Apabila seseorang meninggal dunia, maka hal pertama yang dimulai dari harta peninggalannya (tarikah) adalah untuk membiayai perawatan mayitnya dan penguburannya, kemudian membayar hutang piutangnya, kemudian menunaikan wasiatnya. Apabila terdapat sisa (dari harta peninggalannya), maka dibagikan kepada ahli warisnya berdasarkan firman Allah Ta’ala:
مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“(Yaitu) sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya” [An-Nisaa’: 12]
Juga sebagaimana perkataan ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu :
قَضَى رَسُوْلُ اللهِ j بِالدَّيْنِ قَبْلَ الْوَصِيَّةِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan (membayar) hutang sebelum (memenuhi) wasiat.” [4]
Sebab-Sebab Menerima Warisan
Sebab-sebab menerima warisan ada tiga:
1. Nasab (Keturunan)
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ
“…Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi)…” [Al-Ahzaab: 6]
2. Wala’ (Memerdekakan Budak)•
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلْوَلاَءُ لَحْمَةٌ كَلَحْمَةِ النَّسْبِ.
“Wala’ adalah (pertalian) daging bagaikan (pertalian) daging karena nasab”[5]
3. Pernikahan
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggal-kan oleh isteri-isterimu…” [An-Nisaa’: 12]
Penghalang-Penghalang Menerima Warisan
1. Pembunuhan
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
اَلْقَاتِلُ لاَ يَرِثُ.
“Orang yang membunuh tidak memperoleh warisan.” [6]
2. Perbedaan Agama
Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ.
“Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak pula mewarisi harta orang Islam.” [7]
3. Perbudakan
Hal ini karena seorang budak serta apa yang dimilikinya adalah kepunyaan tuannya, maka jika kerabatnya mewarisinya niscaya warisan tersebut bagi tuannya bukan yang lainnya.
Ahli Waris Dari Golongan Laki-Laki
Ahli waris dari golongan laki-laki berjumlah sepuluh orang:
1,2. Anak laki-laki (al-ibn) dan cucu dari anak laki-laki (ibnul ibn) ke bawah (selama dari jalur laki-laki).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan un-tuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…” [An-Nisaa: 11]
3,4. Ayah (al-ab) dan kakek (al-jad) ke atas (selama dari jalur laki-laki).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ
“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.” [An-Nisaa’: 11]
Sedangkan kakek (al-jad) adalah ayah juga, oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا ابْنِ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ.
“Aku putera ‘Abdul Muththalib”
5,6. Saudara laki-laki (al-akh) dan anak laki-lakinya (ibnul akh) walaupun jauh jaraknya.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
“… Dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak…” [An-Nisaa’: 176]
7,8. Saudara laki-laki ayah (al-‘am atau paman) dan anak laki-laki-nya (ibnul ‘am) walaupun berjauhan.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ ِلأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ.
“Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling dekat.” [8]
9. Suami (az-zauj).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu…” [An-Nisaa’: 12]
10. Budak laki-laki yang telah dimerdekakan (al-maulal mu’taq).
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ.
“Hak wala’ adalah milik orang yang memerdekakan budaknya.” [9]
Ahli Waris Dari Golongan Wanita
1,2. Anak perempuan (al-bint) dan cucu perempuan dari anak laki-laki (bintul ibn) ke bawah (selama dari jalur laki-laki secara murni).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu…” [An-Nisaa’: 11]
3,4. Ibu (al-umm) dan nenek (al-jaddah).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ
“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.” [An-Nisaa’: 11]
5. Saudara perempuan (al-ukht).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
“… Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya…” [An-Nisaa: 176]
6. Isteri (az-zaujah).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
“…Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan…” [An-Nisaa: 12]
7. Budak wanita yang telah dimerdekakan (al-maulaah al-mu’-taqah).
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ.
“Hak wala’ adalah milik orang yang memerdekakan budaknya.” [10]
Orang-Orang Yang Berhak Menerima Tarikah
Orang yang berhak menerima tarikah ada tiga golongan; (1) dzuu fardhin (ahli waris yang mempunyai bagian pasti/tertentu), (2) ‘ashabah (ahli waris yang tidak mendapatkan bagian tertentu) dan (3) rahim (kerabat).
Sedangkan al-furudhul muqaddarah (bagian yang pasti) dalam Kitabullah ada 6 (enam) macam, yaitu: seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam.
• Setengah
Setengah dari harta warisan adalah bagian untuk lima orang berikut:
1. Suami, apabila isterinya yang meninggal tidak memiliki anak (baik laki-laki maupun perempuan).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggal-kan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak…” [An-Nisaa’: 12]
2. Anak perempuan (al-bint).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ
“…Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta…” [An-Nisaa’: 11]
3. Cucu perempuan dari anak laki-laki (bintul ibn)• karena ia menempati kedudukan anak perempuan secara Ijma’.
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata [11], “Mereka (para ulama) bersepakat bahwa cucu-cucu laki-laki dari anak laki-laki (Banul Ibn) dan cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki (Banatul Ibn) menempati kedudukan anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan, yang laki-lakinya seperti (hukum) anak laki-laki dan yang perempuannya seperti (hukum) anak perempuan apabila si mayit tidak memiliki anak dari keturunannya.”
4,5. Saudara perempuan sekandung (ukhtun syaqiqah) dan saudara perempuan seayah (ukhtun li ab).•
Berdasarkan firman Allah Ta’ala
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ
“… Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya…” [An-Nisaa: 176]
• Seperempat
Seperempat harta warisan adalah bagian untuk dua orang:
1. Suami, apabila isteri yang meninggal mempunyai anak.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ
“Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya.” [An-Nisaa’: 12]
2. Isteri, apabila suami yang meninggal tidak memiliki anak.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ
“Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak…” [An-Nisaa’: 12]
• Seperdelapan
Seperdelapan dari harta warisan adalah bagian hanya untuk satu orang saja, yaitu isteri apabila suami mempunyai anak.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم
“…Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan…” [An-Ni-saa’: 12]
• Dua pertiga
Dua pertiga dari harta warisan adalah bagian untuk empat orang:
1,2. Dua anak perempuan dan dua cucu perempuan dari anak laki-laki.•
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ
“…Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan…” [An-Nisaa’: 11]
3,4. Dua saudara perempuan sekandung dan dua saudara perempuan seayah.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِن كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ
“… Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal…” [An-Nisaa’: 176]
• Sepertiga
Sepertiga dari harta warisan adalah bagian untuk dua orang:
1.Ibu (al-umm) jika tidak mahjub (terhalang dari mendapat bagian).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ
“… Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga…” [An-Nisaa’: 11]
2. Dua orang atau lebih dari saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan.•
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِن كَانُوا أَكْثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ
“…Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…” [An-Nisaa: 12]
• Seperenam
Seperenam harta warisan adalah bagian bagi tujuh orang berikut:
1. Ibu, apabila ia bersama anak si mayit atau beberapa ikhwah (saudara) mayit, baik laki-laki maupun perempuan yang berjumlah dua atau lebih.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ
“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.” [An-Nisaa’: 11]
2. Nenek, ketika yang meninggal dunia tidak memiliki ibu.
Ibnul Mundzir berkata [12], “Mereka (ulama) bersepakat bahwa nenek mendapat bagian seperenam apabila si mayit tidak mempunyai (meninggalkan) ibu.”
3. Seorang dari waladul umm (saudara seibu), baik laki-laki maupun perempuan.•
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ
“…Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta…” [An-Nisaa’: 12]
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki, apabila ia bersama anak perempuan mayit tunggal.
Berdasarkan hadits Abu Qais, ia berkata, “Aku mendengar Huzail bin Syarhabil berkata, ‘Abu Musa ditanya tentang (masalah) bintun (anak perempuan), bintul ibn (cucu perempuan dari anak laki-laki) dan ukhtun (saudara perempuan), maka ia menjawab, ‘Bintun mendapat seperdua dan Ukhtun mendapat seperdua juga. Temuilah Ibnu Mas’ud niscaya ia akan mengikuti (pendapat)ku.’ Lantas Ibnu Mas’ud ditanya (tentang masalah yang sama) dan diberitahukan kepadanya tentang pendapat Abu Musa, lalu ia berkata, ‘Sungguh aku telah sesat (jika berbuat demikian) dan sekali-kali aku tidak termasuk orang yang mendapatkan petunjuk (jika aku mengikuti pendapatnya). Aku akan putuskan seperti apa yang diputuskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bintun mendapatkan seperdua bagian, bintul ibn mendapatkan seperenam menggenapkan dua pertiga dan sisanya adalah bagian ukhtun.’ Kemudian kami mendatangi Abu Musa dan memberitahukan kepadanya apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, ia pun berkata, ‘Janganlah kalian bertanya kepada-ku selama orang ‘alim ini (Ibnu Mas’ud) masih (hidup) di tengah-tengah kalian.’”[13]
5. Saudara perempuan seayah, apabila bersama saudara perempuan sekandung, menggenapkan dua pertiga diqiyaskan kepada cucu perempuan dari anak laki-laki dengan anak perem-puan yang tunggal.
6. Ayah bersama dengan anak si mayit.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
“…Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak…” [An-Nisaa’: 11]
7. Kakek, apabila tidak ada ayah.
Ibnul Mundzir berkata [14], “Mereka bersepakat bahwa hukum al-jad (kakek) sama dengan hukum al-ab (ayah).”
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Fiq-hus Sunnah (III/424)
[2]. An-Nisaa’: 12
[3]. QS. An-Nisaa’: 11.
[4]. Ibid, hal 410
• Artinya, dengan memerdekakan tersebut ia mendapat hak wala’nya. Jadi jika budak yang dimerdekakan meninggal dan tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh orang yang memerdekakannya. Dikutip dari Minhaajul Muslim.-pent.
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7157)], Mustadrak al-Hakim (IV/ 341), al-Baihaqi (X/292).
[6]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4436)], [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1672)], Sunan at-Tirmidzi (III/288, no. 2192), Sunan Ibni Majah (II/883, no. 2645)
[7]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (XII/50, no. 6764), Shahiih Muslim (III/ 1233, no. 1614), Sunan at-Tirmidzi (III/286, no. 2189), Sunan Ibni Majah (II/911, no. 2729), Sunan Abi Dawud (VIII/120, no. 2892).
[8]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (VIII/27, no. 4315), Shahiih Muslim (III/ 1400, no. 1776), Sunan at-Tirmidzi (III/117, no. 1738).
[9]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (XII/11, no. 6732), Shahiih Muslim (III/ 1233, no. 1615), Sunan at-Tirmidzi (III/283, no. 2179), dan dengan lafazh yang seperti ini diriwayatkan pula dalam Sunan Abi Dawud (VIII/104, no. 2881), Sunan Ibni Majah (II/915, no. 2740).
[10]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (I/550, no. 456), Shahiih Muslim (II/1141, no. 1504), Sunan Abi Dawud (X/438, no. 3910), Sunan Ibni Majah (II/842, no. 2521)
• Yaitu jika tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.-pent.
[11]. Al-Ijmaa’ (hal. 79).
• Yaitu jika ia menyendiri, tidak ada saudara laki-laki, tidak ada ayah atau tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.-pent.
• Yaitu jika tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.-pent.
• Yaitu jika orang yang meninggal dunia tidak memiliki bapak atau kakek atau anak laki-laki, atau cucu dari anak laki-laki, baik laki-laki atau perempuan.-pent.
[12]. Al-Ijmaa’ (hal. 84)
• Yaitu jika yang meninggal dunia tidak memiliki ayah, kakek, anak laki-laki, cucu dari anak laki-laki, baik cucu itu laki-laki atau perempuan.-pent.
[13]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1683)], Shahiih al-Bukhari (XII/17, no. 6736), Sunan Abi Dawud (VIII/97, no. 2873), Sunan at-Tirmidzi (III/285, no. 2173), dan kalimat yang terakhir tidak terdapat dalam riwayat keduanya (Abu Da-wud dan at-Tirmidzi)
[14]. Al-Ijma’ (84)
Read more https://almanhaj.or.id/967-kitab-warisan.html
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ERA DAKWAH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger